Sabtu, 20 November 2010

Turbin Nasihat Ibu

Segera kupeluk ibu. Air mataku menetes. Aku seperti ingin menghentikan waktu. Aku ingin berlama-lama merasakan pelukan sayap- sayap malaikat dari hati ibu. Mungkin, bisa jadi, inilah pelukan terakhir ibu. Saat terakhir di mana aku bisa melihat wajah ibu yang tulus dan tenang. Aku berharap, anaknya yang suka tak keruan ini, akan selalu dipeluk oleh doa-doa beliau yang mustajab. Iya, aku selalu membutuhkan nasihat ibu.

“Izinkan aku berangkat, Bu.” Pamitku.

“Usap air matamu, Nak!! Tegakkan dadamu!” Kulepas pelukanku.

Kutatap kedua mata beliau…. Jenih. Sangat jernih sorot mata itu.

Kulihat pancaran sinar yang benderang di dalamnya!

Dan, saat jemari lentik ibu mengusap air mataku yang tak bisa berhenti, aku tiba-tiba seperti dialiri aliran listrik yang membuat cahaya kembali menyala dalam semangat dan kekuatanku. Iya, meski aku yakin di dalam hati ibu juga deras air matanya mengucur, namun sama sekali tidak melihat ibu bersedih. Aku hanya melihat sebuah optimism dan tekad yang menggelora.

Hati ibu adalah selimut yang selalu mampu menghangatkanku. Hati ibu adalah pohon rindang yang selalu meneduhku. Hati ibu adalah sekolah, tempatku pertama kali mengenal kasih-sayang. Hati ibu adalah ruangan penyimpanan nasihat yang bijaksana. Hati ibu adalah pembangkit yang selalu member semangat ketika aku sedang lemah.

“Dengar ibu, Nak….” Pesan ibu lagi. “Kalau kamu yakin berada di atas jalan yang benar, hadapi dengan bashirah-mu dan mintalah pertolongan Allah! Bersabarlah menghadapinya karena Allah akan selalu bersamamu. Hadapi, Nak! Hadapi! Ibu tidak ingin kamu menjadi lemah hanya karena merasa tidak sanggup menghadapi semua yang sepantasnya kamu bisa hadapi!”

Sungguh, nasihat ibu seperti mesin jet yang bisa menggerakkan pesawat dengan kecepatan yang melesat. Hatiku kembali bersemangat.

“Jadilah penglihat dan pendengar yang baik, Nak. Karena, dengan itu kamu bisa mencapai telinga Allah. Insya Allah, setelah kamu bisa menjadi penglihat dan pendengar yang baik, hatimu akan mudah mendengar kebenaran, lalu mudah menyimpannya. Allah akan menjadikanmu sebagai lemari penyimpanan kebijakan-Nya. Berusahalah untuk menjadi lemari itu, Nak. Berusahalah! Dan satu hal yang kamu harus ingat, Nak! Jangan pernah berharap kamu bisa memiliki lisan yang baik, kalau kamu tidak mampu menjadi pendengar dan penglihat yang baik. Jangan berharap akan keluar mutiara dari hatimu kalau tidak bisa menjadi lemari itu. Percayalah ibu, Nak! Apa yang kamu hadapi hari ini, besok, dan seterusnya disana, sebenarnya Allah sedang menyekolahkanmu supaya hatimu selalu bisa menampung dan menyimpan kebijakan-Nya. Raihlah, Nak! Dan, ibu berharap kelak kalau kamu sudah bisa menjadi lemari itu, kamu akan selalu membukanya untuk orang lain, supaya siapa pun bisa mendengar kebijakan Allah yang tersimpan di dadamu itu!”

Sungguh, setiap kata yang ibu ucapkan seperti reaktor yang membuatku tergerak. Dan, aku menjadi semakin yakin, sejak langkah kaki pertama ketika meninggalkan rumah untuk menyelesaikan sisa persoalan yang belum tuntas aku selesaikan dan sudah menanti di sana, di sebuah pulau yang pernah aku singgahi, pulang, dan aku akan kembali lagi ke sana dengan perspektif yang berbeda, bersama keberanian yang lebih menggelora lagi. Bismillaah!

Minggu, 07 November 2010

Kisah Antara Nenek dan Anaknya

Sewaktu sahur bulan puasa kemarin nenekku berteriak di kamarnya. Kemudian kami pergi ke kamarnya. Ternyata nenekku bangun dari mimpinya….

“Budi….Budi…..”

“Budi? Budi kan ada di Surabaya.” Jawab ibuku.

“Nggak! Tadi dia ada disini?” Kata nenekku.

“Dimana, nek? Prasaan nggak ada deh!” Aku bingung.

“Tadi dia ada disini!” Nenekku aneh.

“Nenek mau nyari di Budi dulu….pasti dia ada di skitar sini.” Nekad nenekku.

“Nenek, jangan! Nenek tidak bisa jalan lagi.” Pinta ayahku.

“Mungkin tadi itu mimpi, nek. Skarang mending tidur lagi aja. Nenek kan nggak bisa puasa lagi.” Ayahku melanjutkan.

Kemudian nenekku tidur dengan pulas dan kami kembali melanjutkan sahurnya.

Siang harinya….

Tiba-tiba aku mendengar suara nenekku lagi…….

“Budi….budi sini! Nenek rindu.”

“Nek, Om Budi di Surabaya. Jauh nek jauh!!!!!!!” Aku makin bingung.

Tiba-tiba adekku lewat kamar nenekku.

“Budi!!!!!! Sini Budi!!!!!!!!” Nenekku berteriak.

Tiba-tiba aku merasakan antara nenek dan adekku. Kemudian aku mengajak adekku ke kamar nenek lagi dan…..

“Budi…… sini, kemarilah nenek rindu!”

Kemudian adekku kabur ke belakang rumah. Aku tertawa melihatnya. Sekarang aku mengerti : nenek mengira adekku adalah Budi, anaknya nenekku dan adekknya ibuku. Aku bingung antara umur Om Budi dengan Adekku. Jaraknya hampir 35 tahun!!!! Tapi, kenapa bisa nenekku aneh seperti itu? Kemudian aku membuka foto album ibuku waktu sd. Ternyata wajah Om Budi waktu sd mirip dengan wajah adekku. Pantesan……

Aku makin bingung! Nenekku tidak pernah lagi bertemu dengan Om Budi sejak 6 bulan yang lalu, padahal Om Budi selalu telpon dengan nenekku tiap minggu, bahkan Om Budi selalu menangis karena rindunya. Kok bisa ya???????

Kemudian aku menelpon orang tuaku yg sedang “time break” kerja. Ortuku bilang : bilang aja ke nenek Om Budi itu di Surabaya, bukan di Depok!!! Walaupun aku sudah berulang kali mengatakannya tetap saja nenekku masih aneh. Aku baru ingat minggu ini Om Budi belum pernah nelpon lagi.

Sudah 2 bulan nenekku seperti ini. Om Budi makin jarang nelpon nenekku. Kami pun makin bingung. Suatu hari ibuku berkata bahwa nanti Om Budi datang ke rumah nanti sore. Aku mengucap Alhamdulillah dlm hati. Sewaktu Om Budi sampai Om Budi langsung memeluk nenekku erat-erat. Seperti itulah kisah antara nenek dan anaknya. Dalam hati aku berkata “Ntar klo Om balik ke Surabaya nenek masih aneh gak ya?”