Minggu, 04 September 2016

Masalah Plastik



Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai 187,2 juta ton, setelah Tiongkok sebesar 262,9 juta ton. Sementara, Filipina berada di urutan ketiga dengan jumlah sampah plastik ke laut mencapai 83,4juta ton, disusul Vietnam menghasilkan sampah 55,9 juta ton, dan Sri Lanka sebanyak 14,6 juta ton per tahun.
 
Di Indonesia, penggunaan plastik marak terjadi terutama di pusat pembelajaan. Satu pengunjung menggunakan plastic rata-rata empat kantong plastik setiap kali belanja. Jika setiap pusat belanja dikunjungi kisaran 200 ribu setiap hari maka akan ada ratusan ribu plastik yang akan terbuang. Itu pun baru satu pusat belanja. Jika kita totalkan seluruh mal di Indonesia, maka ada sekitar 1.000.000 plastik yang terbuang setiap hari di Indonesia. Jumlah itu belum termasuk plastik dari toko-toko kecil di Indonesia. Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),  sampah plastik dari 100 toko atau Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam waktu satu tahun saja sudah mencapai  10,95 juta lembar atau setara dengan 65,7 hektare kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepak bola.

Mengapa plastik menjadi masalah?

Kantong plastik terbuat dari polyethene (PE), suatu bahan thermoplastic yang lebih dari 60 juta ton bahan ini diproduksi setiap tahun di seluruh dunia terutama menjadi kantong plastic. Untuk memproduksi 1 ton plastik diperlukan 11 barel minyak mentah (BBM).

Plastik banyak digunakan karena bersifat murah, tahan air, ringan, serta praktis. Namun, plastik akan hancur dalam waktu 500-1000 tahun kedepan sehingga plastik tidak hanya merusak keindahan kota dan menyebabkan banjir tetapi juga dapat membunuh binatang karena plastik tersangkut di pencernaan hewan.

Solusi untuk masalah plastik
Menggunakan plastik ramah lingkungan merupakan salah satu solusi masalah plastik. LIPI mengembangkan plastik ramah lingkungan berbahan dasar biodegradable polymer. Feris Firdaus, Sri Mulyaningsih, dan Endang Darmawan dari DPPM (Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Red) Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta meneliti plastik kemasan yang ramah lingkungan dan dari renewable resources.

Riset yang berlangsung sejak awal 2006 itu adalah riset pengembangan bahan plastik baru yang dapat hancur dan terurai dalam lingkungan. Dengan kata lain, ini merupakan salah satu alternatif memecahkan masalah penanganan sampah plastik. 

"Plastik biodegradable dari pati singkong dan khitosan ini menjadi salah satu alternatif bahan pembungkus. Selain ramah lingkungan karena mudah terurai, juga memiliki karakteristik awet dan tahan hingga bulan ke-3 dari pemakaian," tandas Feris, peneliti muda bidang kimia material dan komposit andalan DPPM UII itu.Bahan ini berasal dari pati singkong dan khitosan. Bahan khitosan berasal dari limbah cangkang udang dan crustacea lainnya. Oleh karena itu, bahan ini lebih murah serta lebih cepat hancur daripada plastik biasa. 

BATAN juga mengembangkan plastic ramah lingkungan dengan teknologi nuklir. Radiasi gamma dan berkas elektron dapat digunakan untuk membuat bahan baku pembuatan plastik dari bahan kopolimer yang mudah diurai oleh alam dalam waktu yang lebih singkat daripada plastik biasa (terurai dalam waktu 2-6 bulan). Proses pembuatannya bersifat sederhana, aman, dan bersih. Bahan ini tidak bersifat radioaktif sehingga aman digunakan.

Pengembangan plastik ramah lingkungan tidak hanya dilakukan BATAN dan LIPI. Kini banyak institusi turut mengembangkan plastik ramah lingkungan. 

Berlakukan harga plastik bisa menjadi solusi untuk masalah ini. Fakta di lapangan ketika diberlakukan harga plastik beberapa bulan lalu di Jakarta dan sekitarnya, pengunjung pusat belanja membawa plastik dari rumah atau menggunakan bahan lain seperti kardus untuk membawa hasil belanja. Hal ini disayangkan jika hal ini tidak diberlakukan kembali.


http://poskotanews.com/2016/03/08/batan-luncurkan-plastik-ramah-lingkungan/