Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah
plastik ke laut yang mencapai 187,2 juta ton, setelah Tiongkok sebesar 262,9
juta ton. Sementara, Filipina berada di urutan ketiga dengan jumlah sampah
plastik ke laut mencapai 83,4juta ton, disusul Vietnam menghasilkan sampah 55,9
juta ton, dan Sri Lanka sebanyak 14,6 juta ton per tahun.
Di Indonesia, penggunaan plastik marak terjadi terutama di pusat
pembelajaan. Satu pengunjung menggunakan plastic rata-rata empat kantong
plastik setiap kali belanja. Jika setiap pusat belanja dikunjungi kisaran 200
ribu setiap hari maka akan ada ratusan ribu plastik yang akan terbuang. Itu pun
baru satu pusat belanja. Jika kita totalkan seluruh mal di Indonesia, maka ada
sekitar 1.000.000 plastik yang terbuang setiap hari di Indonesia. Jumlah itu
belum termasuk plastik dari toko-toko kecil di Indonesia. Menurut catatan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampah plastik dari
100 toko atau Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam waktu satu
tahun saja sudah mencapai 10,95 juta lembar atau setara dengan 65,7
hektare kantong plastik atau sekitar 60 kali luas lapangan sepak bola.
Mengapa plastik menjadi masalah?
Kantong plastik terbuat dari polyethene (PE), suatu bahan
thermoplastic yang lebih dari 60 juta ton bahan ini diproduksi setiap tahun di
seluruh dunia terutama menjadi kantong plastic. Untuk memproduksi 1 ton plastik
diperlukan 11 barel minyak mentah (BBM).
Plastik banyak digunakan
karena bersifat murah, tahan air, ringan, serta praktis. Namun, plastik akan
hancur dalam waktu 500-1000 tahun kedepan sehingga plastik tidak hanya merusak
keindahan kota dan menyebabkan banjir tetapi juga dapat membunuh binatang
karena plastik tersangkut di pencernaan hewan.
Solusi
untuk masalah plastik
Menggunakan
plastik ramah lingkungan merupakan salah satu solusi masalah plastik. LIPI mengembangkan
plastik ramah lingkungan berbahan dasar biodegradable polymer. Feris Firdaus, Sri Mulyaningsih, dan Endang Darmawan
dari DPPM (Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Red) Universitas
Islam Indonesia (UII) Jogjakarta meneliti plastik kemasan yang ramah lingkungan
dan dari renewable resources.
Riset yang berlangsung sejak awal 2006 itu adalah riset
pengembangan bahan plastik baru yang dapat hancur dan terurai dalam lingkungan.
Dengan kata lain, ini merupakan salah satu alternatif memecahkan masalah
penanganan sampah plastik.
"Plastik biodegradable dari pati singkong dan khitosan
ini menjadi salah satu alternatif bahan pembungkus. Selain ramah lingkungan
karena mudah terurai, juga memiliki karakteristik awet dan tahan hingga bulan
ke-3 dari pemakaian," tandas Feris, peneliti muda bidang kimia material
dan komposit andalan DPPM UII itu.Bahan ini berasal dari
pati singkong dan khitosan. Bahan khitosan berasal dari limbah cangkang udang
dan crustacea lainnya. Oleh karena itu, bahan ini lebih murah serta lebih cepat
hancur daripada plastik biasa.
BATAN
juga mengembangkan plastic ramah lingkungan dengan teknologi nuklir. Radiasi gamma dan berkas elektron
dapat digunakan untuk membuat bahan baku pembuatan plastik dari bahan kopolimer
yang mudah diurai oleh alam dalam waktu yang lebih singkat daripada plastik
biasa (terurai dalam waktu 2-6 bulan). Proses pembuatannya bersifat sederhana,
aman, dan bersih. Bahan ini tidak bersifat radioaktif sehingga aman digunakan.
Pengembangan plastik ramah lingkungan tidak
hanya dilakukan BATAN dan LIPI. Kini banyak institusi turut mengembangkan
plastik ramah lingkungan.
Berlakukan
harga plastik bisa menjadi solusi untuk masalah ini. Fakta di lapangan ketika
diberlakukan harga plastik beberapa bulan lalu di Jakarta dan sekitarnya,
pengunjung pusat belanja membawa plastik dari rumah atau menggunakan bahan lain
seperti kardus untuk membawa hasil belanja. Hal ini disayangkan jika hal ini
tidak diberlakukan kembali.
http://poskotanews.com/2016/03/08/batan-luncurkan-plastik-ramah-lingkungan/